Daftar Isi :
A. Pergantian Pemerintahan dari VOC ke Pemerintahan Kolonial
B. Pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels dan Janssens di Indonesia
C. Masa Pemerintahan Kolonial INGGRIS di Indonesia
D. Masa Pemerintahan Kolonial BELANDA di Indonesia (:Pemerintah Hindia-Belanda)
A. Pergantian Pemerintahan dari VOC ke Pemerintahan Kolonial
Sebab-sebab/ Latar Belakang Pergantian Pemerintahan
1) Perubahan Politik Pemerintah di Negeri Belanda
Pergantian status (nama pemerintahan) Belanda dari Kerajaan menjadi Republik, bernama Republik Bataaf (Bataafche Republiek) tahun 1795.
Pergantian ini dipengaruhi oleh adanya Revolusi Prancis yang sedang bergejolak dan memberi pengaruh di Eropa. Revolusi Prancis: peristiwa dimana pemerintahan monarki (Kerajaan) digulingkan dan diganti dengan Pemerintahan Republik. Gelombang Revolusi ini juga barpengaruh sampai ke Belanda.
Pergantian status ditandai oleh peristiwa penggulingan Raja Willem V oleh kaum Republikan Belanda yang didukung Prancis.
2) VOC mengalami Kebangkrutan/ kemunduran:
Sebab-sebab VOC mengalami kebangkrutan:
- Banyak korupsi yang dilakukan oleh para pembesar/penguasa VOC
- Kalah bersaing dengan kongsi-kongsi dagang negara Eropa lainnya (seperti Inggris dan Prancis)
- VOC banyak menanggung hutang akibat peperangan yang dilakuakan (banyak mengeluarkan biaya perang)
- Maraknya perdagangan gelap di jalur monopoli VOC
- Timbulnya kemerosotan moral di kalangan para penguasa akibat sistem monopoli perdagangan
3) Namun, tahun 1806 status Belanda berubah lagi.
Dari nama sebelumnya Republik Bataaf menjadi Kerajaan Belanda kembali. Namun merupakan kerajaan bawahan Prancis.
Dari nama sebelumnya Republik Bataaf menjadi Kerajaan Belanda kembali. Namun merupakan kerajaan bawahan Prancis.
Perubahan ini terjadi karena penguasaan Prancis atas Belanda. Belanda berada di bawah kekuasaan Prancis, yaitu di bawah kekuasaan Louis Napoleon Bonaparte. Itu berarti bahwa daerah jajahan Belanda juga berada di bawah kekuasaan Prancis, termasuk Indonesia (yang merupakan jajahan Belanda).
Untuk menangani Indonesia, pemerintah Kerajaan Belanda (yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte) membentuk pemerintahan Kolonial yang dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal. Maka, Louis Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal pemerintah kolonial di Indonesia.
B. Pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels dan Janssens di Indonesia
Pemerintahan Gubernur Jenderal Hermann Willem Daendels
Tugas pokok/utama Daendels di Indonesia adalah:
mempertahankan Pulau Jawa agar tidak tidak diserang dan direbut Inggris.
Dalam menjalankan tugasnya itu, maka langkah-langkah yang diambil Daendels adalah menyiapkan Pulau Jawa sebagai basis militer (sebagai pertahanan). Langkah-langkah yang diambil antara lain:
- Menambah jumlah prajurit dengan merekrut orang Indonesia.
- Membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur).
Tujuan:
1) mempercepat dan memudahkan gerak pasukan,
2) memudahkan mobilitas logistik dan ekonomi.
Pembuatan jalan pos ini menggunakan sistem kerja rodi (kerja paksa) yang diwajibkan bagi rakyat.
- membangun pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.
- Membangun pangkalan Armada Laut di Anyer/ Merak dan Ujung Kulon
- Membangun benteng-benteng.
à Untuk mendapatkan dana sebagai sebagai persiapan, Daendels membuat kebijakan/ langkah-langkah antara lain sbb:
§ Contingenten, yaitu penyerahan pajak berupa hasil bumi (pajak hasil bumi).
§ Verplichte Leverantie, yaitu kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pem. kolonial Belanda (penyerahan wajib).
§ Prianger Stelsel, yaitu kewajiban bagi rakyat Priangan untuk menanam Kopi.
à Tindakan pembaharuan Daendels, antara lain:
§ Verplichte Leverantie, yaitu kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pem. kolonial Belanda (penyerahan wajib).
§ Prianger Stelsel, yaitu kewajiban bagi rakyat Priangan untuk menanam Kopi.
à Tindakan pembaharuan Daendels, antara lain:
§ Merombak pemerintahan feodal dan menggantinya dengan sistem pemerintahan Barat modern.
§ Menjadikan para penguasa wilayah/ penguasa pribumi (seperti Bupati dan Kaum Bangsawan lainnya) sebagai pegawai pemerintah kolonial.
§ Membagi Pulau Jawa menjadi 9 perfektur.
§ Menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan.
§ Membentuk pengadilan keliling dan pengadilan untuk orang pribumi.
§ Memberantas korupsi dan penyelewengan dalam pungutan Kontingenten dan penyerahan wajib (para penguasa pribumi).
§ Menyederhanakan upacara-upacara di Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
à Daendels dipanggil kembali ke Belanda dan dicopot jabatannya sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia, dikarenakan:
§ Menjadikan para penguasa wilayah/ penguasa pribumi (seperti Bupati dan Kaum Bangsawan lainnya) sebagai pegawai pemerintah kolonial.
§ Membagi Pulau Jawa menjadi 9 perfektur.
§ Menjadikan Batavia sebagai pusat pemerintahan.
§ Membentuk pengadilan keliling dan pengadilan untuk orang pribumi.
§ Memberantas korupsi dan penyelewengan dalam pungutan Kontingenten dan penyerahan wajib (para penguasa pribumi).
§ Menyederhanakan upacara-upacara di Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
à Daendels dipanggil kembali ke Belanda dan dicopot jabatannya sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia, dikarenakan:
– Daendels telah menjual tanah-tanah negara kepada swasta (seperti Cina dan Arab). Misalnya saja ia telah menjual tanah-tanah luas sekitar Batavia (ommelandene).
– Tindakan-tindakan/ kebijakan-kebijakan yang dilakukan Daendels ternyata telah menindas rakyat sehingga menimbulkan kebencian dari para penguasa pribumi maupun rakyat. Kebencian itu menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah Kolonial Belanda dengan para penguasa pribumi maupun rakyat, sehingga dapat mengancam pertahanan Belanda di Jawa.
à Akhirnya, kedudukan Dendels sebagai Gubernur Jenderal digantikan oleh Janssens.
à Saat Janssens memerintah di Indonesia, pemerintahan di Indonesia dalam keadaan yang tidak baik/ buruk, antara lain:
– Keadaan negara tidak stabil karena keuangan negara dalam keadaan buruk.
– Tidak terjalinnya hubungan yang baik antara pemerintah Belanda di Indonesia dengan raja-raja di Pulau Jawa akibat tindakan Daendels.
– Angkatan perang yang diwariskan oleh Daendels tidak sekuat yang diharapkan.
à Janssens tidak sehebat dan sekuat Daendels, sehingga keadaan ini dimanfaatkan oleh Inggris untuk melakukan penyerangan.
à Pada tanggal 11 Agustus 1811, pasukan Inggris yang dipimpin oleh Lord Minto menyerang Jawa. Serangan langsung ditujukan ke Batavia (pusat pemerintahan Belanda di Indonesia). Belanda pun terdesak dan akhirnya menyerah kepada Inggris. Janssens menyerah di Kali Tuntang (dekat kota Salatiga), dan menandatangani perjanjian Tuntang sebagai bentuk kekalahan dan juga penyerahan Indonesia.
- Seluruh kekuatan militer milik Belanda yang berada di Asia Tenggara harus diserahkan kepada Inggris dan menjadi tawanan Inggris.
- Hutang pemerintahan Belanda di Indonesia tidak diakui Inggris.
- Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan Belanda di Luar Jawa menjadi wilayah kekuasaan Inggris.
Lord Minto adalah seorang Gubernur Jenderal EIC: East India Company, yaitu sebuah kongsi dagang milik Inggris di Asia yang berpusat di India pada saat itu.
à Dengan ditandatanganinya Perjanjian Tuntang berarti Indonesia sekarang berada di bawah kekuasaan Inggris. Untuk menangani pemerintahan di Indonesia Lord Minto menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia.
C. Masa Pemerintahan Kolonial INGGRIS di Indonesia
Masa Kekuasaan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816)
Kebijakan-kebijakan politik pemerintahan Raffles berdasarkan asas-asas Liberal (kebebasan). Asas liberal amat menekankan kebebasan dan persamaan manusia (kebebasan individu). Maka, kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Raffles di Indonesia tidak sekejam dan sekeras pemerintah Kolonial Belanda.
Perubahan-perubahan yang dilakukan Raffles di Indonesia:
a) Bidang Politik:
– membagi Pulau Jawa dan Madura menjadi 16 Karesidenan, agar memudahkan dalam mengatur dan pengawasan.
– Membentuk badan pengedilan (landraad) di tiap Karesidenan.
– Para Bupati dijadikan pegawai pemerintahan.
b) Bidang Ekonomi:
– Sistem Pajak Hasil Bumi dan Penyerahan Wajib yang diterapkan pada masa kekuasaan G. J. Daendels diganti dengan Landrent-System (sistem sewa tanah).
Pokok-pokok Landrent-system:
a) semua tanah milik pemerintah kolonial Inggris, jadi petani/siapa pun yang ingin memiliki tanah harus menyewanya dari pemerintah dan membayar sewa pajak (sewa tanah).
a) semua tanah milik pemerintah kolonial Inggris, jadi petani/siapa pun yang ingin memiliki tanah harus menyewanya dari pemerintah dan membayar sewa pajak (sewa tanah).
b) Besarnya pajak/sewa tanah berdasarkan atas tingkat kesuburan tanah dan luas tanah.
c) Besarnya pajak tanah sebesar 2/5 dari hasil panen, dan boleh dibayar dengan uang atau pun hasil bumi.
d) Penyewaan tanah dilakukan berdasarkan kontrak dan batas waktu.
e) Segala bentuk penyerahan wajib dan kerja rodi (kerja paksa/wajib kerja) dihapuskan.
Hambatan Landrent-system:
a) sistem feodal yang telah berakar dan menjadi tradisi bagi rakyat di Indonesia. Padahal landrent-system dapat dilaksanakan apabila sistem feodal dihapuskan.
a) sistem feodal yang telah berakar dan menjadi tradisi bagi rakyat di Indonesia. Padahal landrent-system dapat dilaksanakan apabila sistem feodal dihapuskan.
b) Kurangnya jumlah pegawai pemerintah yang cakap untuk mengontrol pelaksanaan landrent-system.
c) Rakyat Indonesia belum siap dengan sistem yang baru (sistem yang modern).
d) Kepemilikan tanah yang masih bersifat tradisional, yaitu kepemilikan tanah biasanya berdasarkan warisan adat. Hal ini menyulitkan pemerintah kolonial Inggris dalam prosedur pengambilalihan kepemilikan tanah.
Landrent-system gagal diterapkan, sehingga Raffles pun bertindak seperti Daendels.
Jasa Raffles di Indonesia:
– menulis buku yang berjudul “History of Java” (:sejarah Jawa).
– menulis buku yang berjudul “History of Java” (:sejarah Jawa).
– Menemukan bunga Bangkai Rafflesia Arnoldi di Bengkulu.
– Merintis Kebun Raya Bogor.
– Menghapus sistem perbudakan.
Tahun 1814, terjadi pergantian kepemerintahan yang ditandai dengan adanya Konvensi London (Perjanjian/ Kesepakatan di kota London, Inggris). Isi dari konvensi/kesepakatan itu adalah: “Belanda menerima kembali daerah jajahannya yang dulu direbut olah Inggris”.
Secara resmi pada tanggal 19 Agustus 1816, berlangsung penyerahan kekuasaan atas Indonesia dari pemerintah Inggris kepada Belanda. Inggris diwakili oleh John Fendall, sedangkan Belanda diwakili oleh Van der Capellen, Elout, dan Buyskes.
Secara resmi pada tanggal 19 Agustus 1816, berlangsung penyerahan kekuasaan atas Indonesia dari pemerintah Inggris kepada Belanda. Inggris diwakili oleh John Fendall, sedangkan Belanda diwakili oleh Van der Capellen, Elout, dan Buyskes.
Dengan penyerahan kekuasaan tersebut, berarti Indonesia kembali berada di bawah kekuasaan/penjajahan Pemerintah Kolonial Belanda (Pemerintah Hindia-Belanda). (NB: Hindia-Belanda adalah sebutan atau nama Pemerintahan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia).
D.Masa Pemerintahan Kolonial BELANDA di Indonesia (Pemerintah Hindia-Belanda)
Kebijakan-kebijakan Pemerintah Kolonial BELANDA
A. CULTUUR STELSEL — Gubernur Jenderal Van den Bosch
Faktor Pendorong Pelaksanaan Cultuur Stelsel:
Sekitar tahun 1830 pemerintah Hindia-Belanda mengalami keadaan ekonomi yang sangat buruk, yaitu sedang mengalami kesulitan keuangan (Kas negara kosong) yang disebabkan oleh:
à Banyak pengeluaran untuk biaya perang (perang Diponegoro dan pemberontakan dari Belgia)
à Belanda terlilit hutang luar negeri
Tujuan: untuk memulihkan keuangan negara (mengisi Kas negara yang kosong)
Pokok-Pokok/ Aturan Tanam Paksa:
a) Rakyat diwajibkan menyediakan seperlima dari lahan garapnya untuk ditanami tanaman wajib/ tanaman ekspor (misalnya: kopi, tebu, tembakau, indigo/nila)
b) Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pajak tanah
c) Hasil tanaman harus dijual kepada pemerintah Hindia-Belanda dengan harga yang telah ditentukan
d) Kelebihan dari hasil panen akan dikembalikan kepada rakyat
e) Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan milik pemerintah
f) Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi (3 bulan)
g) Kegagalan panen karena bukan kesalahan petani akan menjadi tanggung jawab pemerintah
h) Pelaksanaan tanam wajib dibawah pengawasan langsung para penguasa pribumi (kepala desa)
Penyimpangan Pelaksanaan Budi Daya Tanaman
Adanya Cultuur Procenten, yaitu semacam persenan/hadiah bagi para pelaksana tanam paksa jika dapat menyerahkan hasil melebihi ketentuan.
Penyimpangan-penyeimpangan tersebut a.l. :
à Tanah yang diserahkan ternyata dapat lebih dari seperlima bahkan seluruhnya
à Tanah yang diserahkan juga tetap kena pajak
à Penduduk yang tidak punya tanah ternyata bekerja di perkebunan lebih dari 66 hari
à Waktu dan tenaga untuk menanam tanaman wajib melebihi waktu menanam padi
à Jika hasil panen mengalami kelebihan ternyata tidak dikembalikan pada penduduk
à Kegagalan panen baik karena itu kesalahan petani atau bukan tetap menjadi tanggung jawab petani
Penentang Cultuur Stelsel:
à Golongan Agama dan Humanis: para Pendeta; tanam paksa tidak menghargai nilai kemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia.
à Kaum Liberalis dan Kapitalis : para Pedagang dan Pengusaha; tanam paksa tidak menciptakan kebebasan dan kehidupan ekonomi yang adil.
Tokoh Penentang Cultuurstelsel:
L Baron van Hoevell
L Douwes Dekker yang menulis buku: Max Havelaar (Lelang Kopi)
L Fransen van der Putte yang menulis buku: Zucker Contracten (Kontrak Gula)
Penghapusan Cultuur Stelsel:
1) pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada
2) pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa the dan nila
3) pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan, kecuali tanam paksa kopi di Priangan
4) pada tahun 1917, penghapusan tanam paksa kopi
B.Pelaksanaan Politik Kolonial Liberal/Terbuka (Sistem Usaha Swasta)
Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy), yaitu kebijakan pemerintah Belanda untuk memberi/membuka kesempatan kepada pihak swasta/pihak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. — (para pemilik Modal: orang Inggris, orang Amerika Serikat, orang Belgia, orang Prancis, orang Belanda)
Dikeluarkannya Undang-Undang AGRARIA (Agrarische Wet) (1870)
Oleh: de Waal (Staten Generaal / Parlemen Belanda)
Tujuan UU Agraria:
→ Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasaan pemodal asing
Tujuan UU Agraria:
→ Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasaan pemodal asing
→ Memberi prluang kepada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia
→ Membuka kesempatan kerja kepada penduduk Indonesia, terutama menjadi buruh perkebunan
ISI UU Agraria (Agrarische Wet):
→ Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah milik pemerintah. Tahah itu dapat disewakan paling lama 75 tahun (jangka waktu antara 50 – 75 tahun).
→ Tanah milik pemerintah antara lain, tanah/hutan yang belum dibuka, tanah yang berada di luar wilayah milik desa dan penghuninya, serta tanah milik adat.
→ Tanah milik penduduk antara lain, semua sawah, ladang, dan sejenisnya yang dimiliki langsung oleh penduduk desa. Tanah semacam itu boleh disewa oleh pengusaha swasta selama 5 tahun.
Dikeluarkannya Undang-Undang GULA (Suiker/Zucker Wet)
Isinya: Tebu tidak boleh diangkut keluar Indonesia dan harus diproses di dalam negeri.
Artinya: bahwa pihak swasta diberi kesempatan dan ijin untuk mendirikan pabrik gula.
Perkebunan-perkebunan swasta asing dan penanaman modal dalam bidang pertambangan, seperti: