Mesolitikum berasal dari kata Meso yang artinya tengah dan Lithos yang artinya batu sehingga zaman ini dapat disebut zaman batu tengah. Ciri kebudayaan Mesolitikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum. Namun pada masa Mesolitikum, manusia yang hidup sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche. Zaman batu pertengahan diperkirakan berlangsung kurang lebih 20.000 tahun silam. Pada zaman ini, kehidupan manusia tidak jauh berbeda dengan zaman batu tua, yaitu berburu, mengumpulkan makanan, dan menangkap ikan. Mereka juga sudah mulai hidup menetap di gua, tepi sungai, atau tepi pantai. Corak hidup masyarakat pada masa ini masih didominasi oleh corak hidup berburu dan meramu. Setelah ribuan tahun berburu dan meramu (dari 1.900.000–4.500 tahun yang lalu) manusia mulai memiliki kepandaian dalam mengolah tanah dengan menanam keladi. Budaya pada masa mesolitikum ini didukung oleh manusia Australomelanesid (dan sedikit jenis Mongoloid yang khusus menempati wilayah Sulawesi Selatan). Kemampuannya dalam berburu juga telah meningkat. Alat-alat yang dipergunakan antara lain perangkap, jerat, mata panah, dan busur.
A. Kebudayaan dan Alat Zaman Mesolitikum
Alat bantu untuk berburu dan meramu tingkat lanjut masih menggunakan bahan batu, kayu, dan tulang. Teknik pembuatannya sudah dikerjakan lebih lanjut, yaitu sedikit diperhalus. Jenis alat yang dipakai sebagai berikut.
1. Alat Kebudayaan Kjokkenmoddinger (dari Batu)
Kjokkenmoddinger yaitu istilah yang berasal dari bahasa Denmark, yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah. Jadi, Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Kjokkenmoddinger dapat diartikan juga timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatra, yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut, menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V.Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak ditemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper, yakni kapak genggam Palaeolithikum.
Selain Kjokkenmoddinger, ciri lain yang sangat menonjol dari zaman Mesolithikum seperti yang disebut di atas adalah Abris sous Roche. Abris Sous Roche adalah gua-gua yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan tahun 1928 – 1931 oleh Dr. Van Stein Callenfels di gua Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur. Alat-alat yang ditemukan pada gua tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa zaman Mesolithikum sesungguhnya memiliki tiga corak kebudayaan yang terdiri dari:
1) Kebudayaan pebble atau pebble culture di Sumatra Timur.
2) Kebudayaan tulang atau bone culture di Sampung Ponorogo.
3) Kebudayaan flakes atau flakes culture di Toala, Timor dan Rote
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah Teluk Tonkin, daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, ditemukan pusat pebble dan kapak pendek yang berasal dari Pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Namun, di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes, bahkan di Pulau Luzon Filipina juga ditemukan flakes.
Gambar di bawah ini akan membantu lebih memahami penyebaran kebudayaan Mesolitikum di Indonesia:
Alat budaya dari batu yang ditemukan di dalam Kyokkenmodinger antara lain kapak sumatra/ pebble yang digunakan untuk memotong, menggali, dan menguliti. Selain itu, ditemukan serta batu pipisan/batu giling yang digunakan untuk menggiling obat-obatan atau menggiling zat pewarna untuk hematit atau lukisan. Alat-alat ini ditemukan di timbunan bukit remis (kyokkenmodinger) di Sumatra Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam serta gua-gua di Besuki, Jawa Timur. Kyokkenmodinger berasal dari kata kyokken yang berarti dapur dan modding yang berarti sampah. Artinya, segala sisa makanan (terutama kulit kerang, siput, dan remis) yang dibuang. Pada ”garis pantai prasejarah” di kawasan timur Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara membentang dari Lhokseumawe sampai Medan (sekitar 40–50 km dari garis pantai yang sekarang), ditemukan timbunan/bukit remis yang diduga sebagai timbunan sisa makanan dari manusia Australomelanesid yang tinggal di rumah panggung. Pada timbunan kulit kerang ini ditemukan fosil Australomelanesid, kapak sumatra, dan batu pipisan.
2. Alat-Alat Kebudayaan Abris Sous Roche
Abris sous roche (abris = tinggal, sous = dalam, roche = gua), yaitu peradaban ketika manusia purba menjadikan gua-gua sebagai tempat tinggal. Hasil kebudayaannya adalah Kebudayaan Sampung Bone di Gua Lawa, dekat Sampung Ponorogo, Jawa Timur, berupa tulang manusia jenis Papua Melanesoid, flakes, alat-alat dari tulang, dan tanduk rusa yang ditemukan pada 1928–1931 oleh van Stein Callenfels dan Kebudayaan Toala di Lamoncong, Sulawesi Selatan. Hasil kebudayaan ini adalah lukisan yang terdapat di dinding gua, seperti lukisan manusia, cap tangan, dan binatang yang ditemukan di Gua Raha, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, dan Danau Sentani Papua.
Alat-alat budaya yang ditemukan dalam abris sous roche adalah serpih bilah berupa pisau dan gurdi dari batu. Alat ini banyak ditemukan di gua-gua Sulawesi Selatan, Flores, dan Timor. Alat-alat tulang berupa belati, sudip, mata kail, dan penusuk ditemukan di Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan.
B. Corak Masyarakat Zaman Mesolitikum
Manusia purba yang hidup pada tingkat berburu dan meramu tingkat lanjut tinggal di gua-gua alam serta gua payung (abris sous roche) yang letaknya tidak jauh dari sumber air, danau, atau sungai
yang kaya ikan, siput, dan kerang. Mereka yang tinggal di tepi pantai/ muara sungai membangun permukiman berupa rumah panggung. Dugaan tersebut disimpulkan dari temuan bukit remis (kyokkenmodinger) di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara.
Mereka sudah mulai mengenal kepercayaan tentang hidup sesudah mati dan kesenian. Hal itu terlihat dari aktivitas berikut.
1. Mengubur Mayat
Pada umumnya mayat dikubur dengan posisi jongkok, tangan terlipat di bawah dagu/di depan perut, disertai bekal kubur berupa perhiasan kulit kerang. Bahkan, ada beberapa tulang kerangka yang diberi hematit (bahan pewarna dari oker). Cara ini dikenal pula sebagai penguburan mayat sekunder (dua kali). Contoh gua yang pernah digunakan sebagai tempat tinggal oleh manusia prasejarah:
2. Membuat Lukisan pada Dinding Gua Tempat Tinggalnya
Mereka melukis dinding gua tempat tinggalnya dengan cara menggores dan mengecat (hitam, merah, dan putih) serta cap tangan yang sebelumnya sudah ditaburi cat oker. Pada gua Pattae di Sulawesi Selatan ditemukan lukisan cap tangan (berkaitan dengan perkabungan) dan lukisan babi rusa (keberhasilan perburuan). Pada gua Leang-Leang di Sulawesi Selatan terdapat gambar berwarna seekor babi hutan yang sedang berlari dan lukisan cap tangan. Selain itu, di gua Jarie dan gua Burung juga ditemukan lukisan cap tangan. Pada dinding gua-gua di Seram dan Papua Barat dilukiskan perahu (lambang alat transpor ke dunia roh) dan manusia bertopeng (melindungi dari gangguan roh jahat). Lukisan serupa juga ditemukan di Pulau Muna (Sulawesi Selatan).